2. AFTA ( ASIA A FREE TRADE AREA )

KAWASAN PERDAGANGAN BEBAS "ASEAN"

     Kawasan Perdagangan Bebas ASEAN ( ASEAN Free Trade Area, AFTA) adalah sebuah persetujuan oleh ASEAN mengenai sektor produksi lokal di seluruh negara ASEAN.

     Ketika persetujuan AFTA ditandatangani resmi, ASEAN memiliki enam anggota, iaitu, Brunei, Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura dan Thailand. Vietnam bergabung pada 1995, Laos dan Myanmar pada 1997 dan Kamboja pada 1999. AFTA sekarang terdiri dari sepuluh negara ASEAN. Keempat pendatang baru tersebut dibutuhkan untuk menandatangani persetujuan AFTA untuk bergabung ke dalam ASEAN, namun diberi kelonggaran waktu untuk memenuhi kewajiban penurunan tarif AFTA.

    Tujuan



     ASEAN Free Trade Area (AFTA) merupakan wujud dari AFTA dibentuk pada waktu Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN ke IV.

     Sulit bagi Indonesia untuk menolak kesepakatan perdagangan bebas ini,Penolakan hanya akan membuat Indonesia terkucil dari pentas perdagangan regional, Di sisi lain, menolak FTA ASEAN-China juga tidak otomatis akan membuat ekonomi domestik menjadi kuat.
 
     Sebagai bangsa, Indonesia tidak perlu berkecil hati menghadapi gelombang perdagangan bebas ini asalkan semua ”pekerjaan rumah” yang ada, sejak ratifikasi ditandatangani tahun 2004, dikerjakan dan diselesaikan dengan baik. Pekerjaan rumah itu adalah meningkatkan kapasitas dan kualitas produksi sehingga daya saing komoditas dan produk Indonesia meningkat.

     Menteri Pertanian Suswono menyatakan, ASEAN-China FTA adalah sebuah kebijakan yang sudah disepakati. Oleh karena itu, lebih baik bila dihadapi dengan mengupayakan peningkatan kapasitas, produksi, dan kualitas komoditas pertanian Indonesia. Hal itu diperlukan karena Indonesia tidak bisa selamanya menerapkan strategi bertahan. Cepat atau lambat, perdagangan bebas akan terjadi.

     Oleh karena itu, pemerintah akan mendorong peningkatan daya saing ekspor produk pertanian unggulan, seperti sawit, karet, cokelat, manggis, salak, nanas, dan komoditas hortikultura lainnya.

     Untuk subsektor perkebunan, barangkali Indonesia tidak perlu cemas. Neraca perdagangan produk perkebunan Indonesia-China pasca-EHP (early harvest programme/percepatan penurunan atau penghapusan tarif) positif dan terus meningkat.

     Menurut Direktur Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian Kementerian Pertanian Zaenal Bachruddin, dari 20 komoditas pertanian utama yang diekspor Indonesia ke China, didominasi komoditas perkebunan. Komoditas itu dalam bentuk komoditas primer ataupun produk olahan.

     Komoditas perkebunan yang mendominasi ekspor Indonesia adalah minyak sawit, minyak inti sawit, karet SIR 20, karet lembaran, minyak kopra, biji cokelat pecah dan setengah pecah, karet polybutadiene styrene (SBR), margarin bukan kalengan, karet dengan campuran amonia, karet dengan campuran silika, serta kopi dipanggang tidak mengandung kafein.

Pukulan telak

     Berbeda dengan perkebunan, subsektor tanaman pangan, hortikultura, dan peternakan justru menghadapi tantangan berat. Padahal subsektor tersebut menjadi tumpuan hidup sebagian besar rakyat Indonesia.

     Neraca perdagangan komoditas tanaman pangan Indonesia-China tahun 2004 defisit 43,031 juta dollar AS. Tahun 2008 defisit membengkak menjadi 109,531 juta dollar AS.

     Neraca perdagangan komoditas hortikultura defisit 150,282 juta dollar AS (2004) dan 2008 defisit 434,403 juta dollar AS. Adapun neraca perdagangan komoditas peternakan tahun 2004 defisit 7,798 juta dollar AS, dan 2008 menjadi defisit 17,948 juta dollar AS.

     Meskipun secara agregat surplus neraca perdagangan Indonesia meningkat, hal itu tidak serta-merta mendorong peningkatan kesejahteraan masyarakat Indonesia. Apalagi ketiga subsektor yang menjadi gantungan hidup mayoritas rakyat mengalami hantaman.

     Data Kementerian Pertanian menunjukkan, tahun 2009 jumlah tenaga kerja di subsektor perkebunan hanya 19,7 juta jiwa atau 45,7 persen dari total angkatan kerja sektor pertanian.

     Dari 19,7 juta jiwa tersebut, hanya sekitar 8 juta jiwa yang terserap di kelapa sawit dan karet. Sisanya di komoditas perkebunan lainnya. Kelapa sawit dan karet lebih banyak diusahakan perkebunan besar, baik milik negara maupun swasta.

     Adapun subsektor tanaman pangan, hortikultura, dan peternakan menyerap lebih dari 30 juta tenaga kerja. Dengan demikian, kesalahan dalam melakukan tata kelola tiga subsektor pertanian itu akan langsung mengimbas pada sendi-sendi perekonomian rakyat banyak.

     Oleh karena itu, sudah saatnya pemerintah melakukan langkah-langkah besar mempercepat pengembangan sektor pertanian dengan biaya berapa pun. Tanpa itu perdagangan bebas ASEAN-China hanya akan menjadi gerbang kesengsaraan rakyat.

Pandangan Bahwa Penundaan AFTA Bisa Merugikan Bagi Indonesia

      Penundaan pelaksanaan ASEAN-China Free Trade Agreement (ACFTA) akan merugikan Indonesia, karena negara lain di ASEAN akan dengan senang hati mengambil alih kesempatan itu.

      Oleh karena itu, menurut Dirjen Kerja Sama ASEAN Kementerian Luar Negeri Djauhari Oratmangun, pelaksanaan ACFTA jangan sampai ditunda. Yang paling memungkinkan dilakukan saat ini adalah membahas ulang perjanjian dengan China untuk mencari win-win solusinya.

      Negara yang tergabung di ASEAN yang panik hanya di Indonesia. Negara lain tenang-tenang saja. Kalau Indonesia tidak mau menjalankan ACFTA, kesempatan itu akan disrobot negara lain," kata Djauhari di Yogyakarta, Jumat (22/1).

      Menurutnya, Indonesia memiliki banyak keunggulan jika dibandingkan dengan negara lain di ASEAN sehingga komoditas yang diproduksi sangat mampu bersaing dalam era perdagangan
terbuka. Apalagi, posisi Indonesia adalah pemain utama di ASEAN.

      Bahkan, Indonesia sangat memungkinkan menjadi pemain utama di tingkatan global. Hal itu bisa dilihat dari infrastruktur politik yang sudah berjalan on the track maupun infrastruktur sosial yang sedang dibenahi.

      Ia yakin sumber daya manusia yang ada di Indonesia sangat kreatif dan bisa bersaing dengan negara lain. Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dan Jawa Tengah, ujarnya, adalah daerah di Indonesia yang sangat mampu menghadapi persaingan itu.

      Indikatornya, sumber daya manusia, ketrampilan, dan kreatifitas di dua daerah tersebut sangat  tinggi. Sehingga hal itu sangat berpotensi untuk berkembang dan berkompetisi. "Indonesia mulai saat ini harus melangkah untuk berkonsentrasi mengembangkan poduk yang memiliki nilai tambah sehingga akan meningkatkan hasilnya," jelasnya.

kunjungi juga Web Anjar Irawan yang lainnya :

1. Informasi Kehidupan Masyarakat : anjarsmanurulhuda.blogspot.com

2. Dunia Musik / Seni :
anjarirawan72.blogspot.com


3. Dunia Wirausaha :

kelompokwirausaha.blogspot.com